SELAMAT DATANG DI BLOK KAMI SEMOGA ANDA MENDAPATKAN MANFAAT

Jumat, 20 September 2013

AL-‘ALLAF, AL-JUBBA’I DAN PEMIKIRANNYA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
 Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Mur’jiah. Dalam pembahasan, mereka banyak menggunakan akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[1]
Kontak dengan filsafat Yunani membawa pemujaan akal ke dalam kalangan Islam. Kaum Mu’tazilah banyak dipengaruhi hal ini dan tidak mengherankan kalau dalam pemikiran teologi mereka banyak menggukana akal atau rasio sehingga corak teologi mereka liberal.[2]
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi biasa disebut dalam buku-buku ’Ilm al-Kalam berpusat dari peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ’Ata’ serta temannya ’Amr Ibn ’Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh Hasan al-Basri di Mesjid Basrah. Pada suatu ketika datang seorang bertanya tentang orang yang berdosa besar, Khawarij mengklaim mereka kafir, sedang Murji’ah mengklaim mereka tetap mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri, orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berposisi di antara keduanya, kemudian ia berdiri menjauhkan diri dari Hasan al-Basri. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan : i’tazala ’anna  (Wasil menjauhkan diri dari kita). Dengan demikian ia beserta teman-temannya disebut Mu’tazilah.[3]
Tokoh utama di balik munculnya paham teologi ini adalah Washil bin 'Atha’. Ia lahir di tahun 81 H, di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Ajaran-ajaran yang dibawanya adalah paham al-manzilat baina al-manzilatain (posisi di antara dua posisi bagi pembuat dosa besar), paham qadariyyah dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.[4]
Adapun murid-murid wasil yang melanjutkan pemikiranya antara lain adalah, Abu al-Huzail al-Alla>f, al-Naz}z}a>m, dan Abu Ali al-Jubba>'i.[5]
Dalam makalah ini membahas tokoh aliran Mu’tazilah yang meliputi; Abu al-Huzail al-Alla>f, dan Abu Ali al-Jubba>'i dan ajaran-ajaranya.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dirumuskan masalah sebagai berikut:
  1. Siapa Abu al-Huzail al-Alla>f, dan Abu Ali al-Jubba>'i serta bagaimana pokok ajaran-ajaranya ?
2.      Bagaimana perkembangan Mu’tazilah dan pengaruhnya di dunia Islam ?








BAB II
SEJARAH TIMBULNYA MU’TAZILAH DAN TOKOHNYA
A.  Sejarah Timbul Mu’tazilah
1.    Sejarah Timbulnya Mu’tazilah.
                Golongan ini muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran Islam pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas dalam masa yang cukup panjang. Para ulama berbeda pendapat pada waktu munculnya golongan ini. Sebagian berpendapat, golongan ini mulai timbul sebagai satu kelompok di kalangan pengikut ‘Ali. Mereka mengasingkan diri dari masalah-masalah politik dan beralih ke masalah akidah ketika Hasan turun dari jabatan khalifah untuk digantikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Mengenai hal ini Abu al-Hasan al-Thara’ifi dalam bukunya Ahl al-ahwa’ wa al-Bida’ menyatakan “ Mereka menamakan diri dengan mu’tazilah ketika Hasan Ibn ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan seuma orang lain, mereka menetap di rumah-rumah dan di masjid-masjid. Mereka berkata, kami bergelut dengan ilmu dan ibadah[6].
  Menjelang akhir kekuasaan Bani Umayyah dipertengahan abad VIII M, muncullah aliran baru yang disebut Mu’tazilah. Mu’tazilah menolak dua aliran yang mendahuluinya yaitu Khawarij dan Murji’ah, dan mengatakan bahwa sebenarnya pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi berada pada posisi menengah antara mukmin dan kafir. Ajaran ini dalam Mu’tazilah disebut al-Manzilat Bayna al-Manzilatain. Secara historis dapat dikatakan bahwa ajaran inilah yang menandai lahirnya Mu’tazilah. Paham tersebut untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Wasil Bin ‘Atha’ yang dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah[7]. Mu’tazilah adalah sebutan bagi orang-orang yang memisahkan diri dari jamah Hasan al-Bashri, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’. Walaupun selanjutnya Washil bin Atha menamakan diri kelompoknya dengan sebutan Ahl al-‘Adl wa al-Tauhi>d.[8] Istilah Mu’tazilah sebenarnya telah muncul sejak abad I H. Istilah tersebut dialamatkan kepada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam masalah-masalah politik ketika terjadi pertikaian antara Usman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, jika memperhatikan keadaan masyarakat dan situasi politik serta latar belakang lahirnya Mu’tazilah di atas, tidak ada hubungan antara Mu’tazilah yang muncul abad pertama hijriah dengan Mu’tazilah yang dipelopori Washil bin Atha. Yang pertama akibat kemelut politik, yang kedua didorong persoalan keimanan.[9]
 Berbagai analisis dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilmu Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atha’ serta temanya Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya tentang status orang yang berdosa besar. Sebagai mana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendaptnya sendiri dengan mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara ke duanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir.” Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan pergi ke tempat lain di mesjid. Di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Bas}ri mengatakan: “ Was}il menjauhkan diri dari kita (i’tazala anna>). “ Dengan demikian ia serta teman-temanya disebut kaum Mu’tazilah.[10]
 Versi lain yang diberikan oleh Ta>sy Kubra> Za>dah, menyebutkan bahwa Qata>dah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Mesjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah mengetahui bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu, menurut Ta>sy Kubra> Za>dah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.[11]
Asal-usul penamaan Mu’tazilah cukup sulit untuk diketahui secara pasti, berbagai pendapat para ahli menunjukkan perbedaan pendapat di antara mereka. Nama Mu’tazilah merupakan designasi bagi aliran teologi rasional yang sifatnya liberal dalam Islam timbul setelah peristiwa Washil bin Atha’ dengan Hasan al-Bashri di Basrah, inilah yang bersifat umum dan yang dimaksud dalam penulisan ini.

2.    Al-Us>ul al-Khamsah. 
Mengenai al-Us}ul al-Khamsah secara harfiah berarti lima dasar. Mu’tazilah memahami dan meyakini bahwa ada lima dasar dalam akidah Islam yaitu; al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah Baina al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar. Kelima dasar keyakinan tersebut merupakan prasyarat untuk menjadi kaum Mu’tazilah.
Al-Tauhid, (pengesaan Tuhan) yang merupakan inti paham Mu’tazilah; maksudnya pemurnian esensi Tuhan; Tuhan tidak memiliki sifat-sifat. Lebih lanjut Washil bin Atha’ mengatakan, Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri yang melekat pada Zat Tuhan. Abu al-Huzail mencoba membawa penyelesaian. Tuhan betul mengetahui tetapi bukan dengan sifat melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah Zat-Nya demikian seterusnya dan sifat-sifat lainnya[12].
Al-‘Adl, (prinsip keadilan Tuhan).  Menurut paham Mu’tazilah, Allah tidak menyukai kerusakan, dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang dengan kudrat yang diberikan dan ditetapkan Allah kepada mereka. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya.
Al-Wa’ad wa al-Wa’id, (prinsip janji dan ancaman). Mu’tazilah berkeyakinan bahwa janji berupa balasan kebaikan dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil diturunkan. Janji Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi, janji siksaan atas kejahatan juga akan terjadi.[13]
al-Manzilat Baina al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi). Washil bependapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar tidaklah kafir, bukan pula mukmin, tetapi mengambil posisi antara kafir dan mukmin. Kalau orang Islam tersebut bertaubat sebelum dia meninggal maka ia akan masuk surga, tetapi kalau orang Islam tersebut belum sempat bertaubat, maka ia akan masuk neraka selama-lamanya, namun azab yang ia terima lebih ringan dari azab yang diterima oleh orang kafir.[14]
Al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar, (prinsip menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran). Prinsip ini adalah dasar yang kelima dari dasar-dasar paham Mu’tazilah yang disepakati. Kaum mu’tazilah menetapkan bahwa semua muslim wajib melakukan upaya tersebut untuk menyiarkan dakwah Islam dan menunjuki orang yang sesat serta mencegah serangan orang yang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan sehingga mereka  tidak dapat menghancurkan Islam.

B.    Tokoh Penting (al-Allaf, dan al-Jubbai), dan Perkembangan al-Mu’tazilah sebagai Aliran Kalam, serta Pengaruhnya di Dunia Islam.
1.     Al-Alla>f. 
a.  Biografi Al-Alla>f
Termasuk tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan Mu’tazilah adalah al-Allaf. Nama lengkapnya Muhammad bin al-Huzail al-Allaf. Ia merupakan seorang tokoh Mu’tazilah yang menjadi pemimpin kedua Mu’tazilah cabang Basrah setelah Washil bin 'Atha’. Ia lahir pada tahun 135 / 751 M, tiga tahun setelah berdirinya Daulah Abbasiyah dan wafat pada tahun 235 H/849 M.[15] Ia menyaksikan aliran Mu’tazilah mencapai puncak kekuasaannya di dalam imperium Islam dan juga turut menyaksikan kemunduran dan tumbangnya aliran Mu’tazilah dari kekuasaannya pada masa khalifah al-Mutawakkil.[16]



b.  Pemikiran Al-Alla>f
Di antara pemikirannya yang berbeda dengan tokoh-tokoh al-Mu’tazilah adalah:
a.         Allah itu ‘Alim (Maha Mengetahui) dengan dzat-Nya, Allah itu Qadir (Maha Berkuasa) dan Qudrah Allah adalah dzat-Nya, demikian seterusnya. Singkatnya dia meniadakan seluruh sifat selain dzat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh Wasil akan tetapi dia lebih mendalam.
b.        Alam memiliki cakupan dan batasan karena alam adalah hal yang baru, termasuk surga dan neraka.
c.         Manusia terbebani taklif (kewajiban) yang mampu dibedakan oleh akal antara yang baik dan yang buruk meskipun tanpa syariat atau wahyu.
d.        Ajaran al-s}ala>h wa al-as}lah (Allah wajib berbuat baik dan terbaik).[17]
akibat lama berhubungan dengan filsafat Yunani.[18]

Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya dengan nafy al-Sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Tuhan mengetahui bukan dengan sifat, malahan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Pendapat selanjutnya, mengenai kemampuan manusia menggunakan akalnya untuk mengetahui Tuhan, oleh karena itu manusia yang lalai mengetahui Tuhan diberi ganjaran, begitu juga baik dan buruk. Kelihatan sekali pendapatnya dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani.
Tuhan menciptakan manusia bukan karena Ia berhajat pada mereka, tetapi karena nikmat lain. Dan Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Inilah landasan paham al-salah wa al-aslah, dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik.[19]

c.  Pengikut Abu Huzail Al-’Alla>f
Pengikut Abu Huzail al-’Alla>f, mendasarkan ajaran mereka pada sepuluh kaidah :
1)      Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya.
2)      Allah mempunyai keinginan, tetapi tidak mempunyai tempat
3)      Perkataan Allah sebagian tidak punya tempat seperti kata ”Kun” , sebagian berbentuk perintah, larangan, berita dan pemberitahuan. Perintah untuk penciptaan bukan untuk taklifi
4)      Manusia bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan Allah di dunia ini, tapi di Akhirat perbuatan manusia diciptakan Allah karena bila diusahan berarti manusia mendapat taklif.
5)      Manusia di surga kekal mendapat nikmat begitu pula yang ada di neraka selamanya mendapat siksaan.
6)      Kemampuan manusia hanyalah selain kesehatan. Perbuatan hati tidak sah bila tidak ada kemampuan, tetapi perbuatan anggota badan sah meski tidak ada kemampuan.
7)      Seseorang menjadi mukallaf sebelum datangnya wahyu karena baik buruk dapat ditentukan akal.
8)      Seseorang bila tidak dibunuh akan mati pada waktu itu juga tidak mungkin ditambah atau dikurangi umurnya. Adapun masalah rezki, yaitu yang diciptakan Allah sebagai rezkinya, sedang yang diharamkan maka bukan rezki.
9)      Iradah Allah bukan apa yang Allah kehendaki. Kehendak Allah ketika meciptakan yaitu penciptaan untuk ciptaan-Nya. Penciptaan-Nya untuk sesuatu bagi-Nya bukan sesuatu. Tetapi penciptaan bagin-Nya adalah perkataan bukan sesuatu yang bertempat.
10)  Dalam masalah yang gaib, tidak dapat ditetapkan kecuali dengan khabar 20 orang dan di antara 20 orang itu ada seorang atau lebih yang menjadi ahli surga.[20]
Paham inilah yang menjadi landasan pokok para pengikut Abu Huzail Al-’Alla>f

2.    Al-Jubbai.
a.     Biografi Al-Jubbai
Al-Jubbai, merupakan tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan Mu’tazilah. Nama lengkapnya adalah Abu 'Ali Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Jubba'i. Lahir pada tahun  295 H, dan wafat pada tahun 321 H. Dia adalah guru dari Abu Hasan al-Asy’ari pendiri aliran Asy-ariyah.[21]

b.     Pemikiran Al-Jubbai
Terkait dengan sifat Tuhan, al-Jubba'i berpendapat bahwa Tuhan itu mengetahui sesuatu melalui esensi (Zat) Nya, Ia maha kuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Olehnya itu, untuk mengetahui sesuatu, Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui, dan tidak pula perlu pada keadaan mengetahui.[22] al-Jubba’i juga mengatakan bahwa Allah menciptakan "kalam-Nya" sendiri di tempat pembacaan kapan saja seorang manusia membacakan Al-Qur’an.[23]
Demikianlah pemikiran dari tokoh yang berpengaruh dalam aliran mu’tazilah, yang pada intinya pemikiran mereka tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh yang lainya atau pemikiran yang satu dengan yang lainnya hampir sama karena mereka pada hakikatnya menggunakan rasio.

c.     Pengikut Al-Jubbai
Pengikut al-Jubbai mendasarkan pemahaman mereka di antaranya
1)      Tetapnya seluruh yang ada
2)      Adanya Allah berkata dengan suatu perkataan, Dia menciptakannya pada suatu tempat
3)      Tidak bisanya melihat Allah di dunia dan di akhirat
4)      Untuk mengetahui baik dan buruk dan berterima kasih terhadap nikmat Allah dapat dicapai dengan akal. Syariat terbagi dua; syariat akal dan syariat nabi.
5)      Persoalan imamah dan kekeramatan para wali dan sahabat mereka mengingkari, tetapi tetap mengakui kema’suman para nabi dan rasul.[24]

3.    Peristiwa al-Mihnah dan Perkembangan Mu’tazilah sebagai Aliran Kalam, serta Pengaruhnya di Dunia Islam
Peristiwa al-mihnah terjadi sekitar tahun 198 H. sampai dengan tahun 232 H. Hanya saja pelaksanaannya nanti diterapkan secara efektif di tengah masyarakat mulai pada tahun 218 H. Hal itu dilakukan karena adanya kekhawatiran akan mendapat tantangan dari masyarakat di masa awal pemerintahan al-Makmun. Berawal dari Khalifah al-Makmun terkontaminasi oleh paham Mu’tazilah yang dimiliki oleh Ahmad bin Abu Du'ad. Dia berusaha mempengaruhi Khalifah dan menelurkan ide untuk melaksanakan mihnah untuk menjernihkan akidah masyarakat terutama soal doktrin “Al-Qur’an adalah Makhluk”. Akhirnya, pada tahun 212 H, mulailah al-Makmun menganut paham Mu’tazilah.  
Pada masa pemerintahan al-Makmun, diterapkan empat macam tingkatan sanksi atas mereka yang membangkang, yaitu  pertama, mereka yang menolak tidak dapat diterima kesaksiannya di pengadilan, kedua, bagi mereka yang bekerja sebagai guru atau muballigh diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari Khalifah, ketiga, jika masih menolak akan dicambuk dan dirantai, kemudian dimasukkan ke dalam penjara, dan keempat, proses terakhir dari segalanya adalah hukuman mati dengan leher dipancung.[25] 
Pada masa pemerintahan al-Watsiq (842-847 M./227-232 H.), dia masih menjalankan kebijakan al-mihnah. Bahkan pada masa ini, pernah dikeluarkan perintah untuk membunuh Ahmad bin Nashr al-Khuza’iy, seorang ulama yang mendukung pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal tentang ke-qadiman al-Qur'an. Akibatnya,  beberapa tokoh dan ulama mati di penjara karena mempertahankan pendapat mereka,  di antaranya : Na’im bin Hammad, dan Yusuf bin Yahya al-Buwaiti.[26]
Seiring dengan terpilihnya Khalifah al-Mutawakkil sebagai pengganti khalifah al-Wasiq (232/847), ajaran Mu’tazilah dihapuskan dari mazhab negara dan digantikan dengan ajaran al-Asy’ariyyah.[27] Dengan demikian, berakhirlah riwayat al-Mihnah pada masa ini, dan pengaruh kaum Mutazilah pun mulai menurun. [28]
Adapun perkembangan Mu’tazilah sebagai aliran kalam dan pengaruhnya dalam dunia Islam adalah, kelompok Mu’tazilah pada mulanya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan golongan Murjiah. Kemudian Mu’tazilah muncul dengan pemahamanya dengan konsep al-Manzilah bain al-Manzilatain bahwa sesungguhnya orang yang berdosa besar dia bukan kafir dan bukan pula mu’min. Setelah golongan Muktazilah mencapai puncak kepesatan dan kemegahannya pada masa Al-Makmun dan al-Mu’tashim, tidak berapa lama kemudian aliran ini akhirnya mengalami kemunduran. Kondisi itu utamanya terjadi pada masa khalifah al-Mutawakkil. Walaupun demikian, aliran ini tidak serta merta hilang dari permukaan. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa beberapa pengikutnya yang setia masih tetap eksis dan menjadi tokoh penting dan ulama produktif. Sebut saja misalnya, al-Khayyath yang muncul pada akhir abad ke III H. Kemudian Abu Bakar al-Zamakhsyari (w. 320 H./932 M.) yang muncul pada abad ke IV H. yang dikenal dengan tafsirnya al-Kasysyaf. Pengaruh kedua tokoh tersebut sangat besar di kalangan kelompok Ahlussunnah wa al-Jama’ah.[29]
Selanjutnya paham ini berkembang menjadi aliran kalam yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Kemunculannya seiring dengan telah banyaknya umat Islam yang melakukan kontak dengan pemikiran Filsafat Yunani yang dikenal menjadikan akal sebagai power dalam berfikir sampai-sampai menilai benar-salahnya sesuatu menurut ukuran rasio. Ibarat tersengat retorika berfikir tersebut, orang-orang Mu’tazilah pun amat tertarik dengan filsafat tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika aliran Mu’tazilah ini banyak berpegang pada rasio dalam membicarakan perkara-perkara teologi.[30]
Meskipun aliran Mu’tazilah tidak lagi menjadi satu golongan namun tidak dapat disangkal bahwa perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dan falsafah dalam Islam tidak lepas dari peran serta pengaruh paham Mu’tazilah yang lebih mengutamakan akal dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan  teologi. Bahkan, menurut Harun Nasution, di zaman modern dan kemajuan iptek sekarang ini, ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional tersebut telah tumbuh kembali di kalangan umat Islam, terutama di kalangan kaum terpelajar.[31] 




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.        Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah berawal dari adanya perbedaan pendapat tentang orang yang berdosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin. Kemudian Mu’tazilah berpendapat bahwa dia tidak kafir dan tidak pula mu’min atau berada di antara dua tempat, dengan kata lain al-Manzilat Bayn al-Manzilatain. Paham tersebut untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Wasil Bin ‘Atha’ yang dikenal sebagai aliran Mu’tazilah. Kemudian berkembang menjadi konsep Lima Dasar (al-Ushul al-Khamsah) yakni al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah Baina al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar.
2.        Adapun termasuk tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan Mu’tazilah adalah al-Allaf, dan al-Jubbai dalam pendapat-pendapatnya tidak jauh beda yang satu dengan yang lainya karena masing-masing menggunakan rasio.   
3.        Adapun pengaruhnya dalam dunia Islam atau zaman modern ini ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional tersebut telah tumbuh kembali di kalangan umat Islam, terutama di kalangan kaum terpelajar.







DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 199)
Al-Bagda>di, Abu Mans}ur >, al-Farqu baina al-Firaq (S}aida>: al-T{ab’ah al-As}riyah, t.th)
Al-Dimasyqi, Abu al-‘Izz, Syarh al-Aqi>dah al-T}ahawiyah, jilid 1 (Cet.10; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1417 H/1997 M)
Al-Syahrastani, Abu Al-Fath, al-Milal wa al-Nihal, juz 1 (Cet. I:Beirut; dar al-Kutub al-Ilmiah,1410 H/1990M)
Asmuni, M. Yusran, Ilmu Tauhid  (Cet. II; Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1994)
Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 M)  
Dahlan, Abdul Azis, Sejarah dan Perkembangan Pemikiran dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Beunebi Cipta, 1987)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Cet.XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Haq, Hamka, Dialog: Pemikiran Islam, ( Makassar: Yayasan al-Ahkam, Cv. Berkah Utami, 2000)
Harahap, Syahrin dkk, Eksiklopedi Islam,( Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya  (Jakarta : UI-Press, 2009)
_____________, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996)
_____________, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2012)
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
Natsir, Sahilun A., Pengantar ilmu Kalam, (Cet. II ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)
Sou’eyb, Joesoef, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982)  
Subhi, Ahmad Mahmud, Fi ‘Ilm al-Kala>m  (Kairo: t.p, 1969)
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Ta>ri>kh al-Maza>hib al-Isla>miyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, dengan judul Aliran Politik dan Aliran Islam (Cet.I; Jakarta:Logos Publishing House, 1991), h. 149.




[1] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan ( Jakarta: UI Press, 2012), h. 40.
[2] Idem, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta : UI-Press, 2009), h. 33
[3] Lot. Cit
[4]Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44-45
[5]Abdul Azis Dahlan, Sejarah dan Perkembangan Pemikiran dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 75.

[6]Imam Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maza>hib al-Isla>miyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, dengan judul Aliran Politik dan Aliran Islam (Cet.I; Jakarta:Logos Publishing House, 1991), h. 149.
[7]Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam, ( Makassar: Yayasan al-Ahkam, Cv. Berkah Utami, 2000)  h. 8.
[8]Sahilun A. Natsir, Pengantar ilmu Kalam, (Cet. II ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994) h. 93.
[9]M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid  (Cet. II; Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1994) h.. 113-114.
[10] Abu Al-Fath al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, juz 1 (Cet. I:Beirut; dar al-Kutub al-Ilmiah,1410 H/1990M) h. 42.
[11] Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kala>m  (Kairo:t.p,1969) h. 75.
[12]Syahrin Harahap dkk, Eksiklopedi Islam,( Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003) h. 457.
[13]Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 199) h. 47.
[14]Abu Al-Fath al-Syahrasta>ni, op. cit. h. 39.
[15]Harun Nasution, Teologi, h. 47.
[16]Joesoef  Sou’eyb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982)  h. 212.
[17]Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 M) h. 97.
[18]  Abu Mans}ur al- Bagda>di>, al-Farqu baina al-Firaq (S}aida>: al-T{ab’ah al-As}riyah, t.th) h. 131.
[19] Harun Nasution, Teologi, h. 47-48
[20] Abu Al-Fath al-Syahrasta>ni, op. cit. h. 64-67.
[21] Harun Nasution, Teologi,  h. 66.
[22] Ibid., h.51-52.
[23] Abu al-‘Izz al-Dimasyqi, Syarh al-Aqi>dah al-T}ahawiyah, jilid 1 (Cet.10; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1417 H/1997 M) h. 173.
[24] Abu Al-Fath al-Syahrasta>ni, op. cit. h. 90-96.

[25]Hamka Haq, op. cit, h. 11.
[26]Joesoef Sou’eyb, op. cit, h. 177-179.
[27]Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, op. cit.,  h. 191.
[28]Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996),   h. 65.
[29]Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Cet.XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h.100.
[30]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)  h. 63.
[31]Harun Nasution, Teologi.  h. 60.