SELAMAT DATANG DI BLOK KAMI SEMOGA ANDA MENDAPATKAN MANFAAT

Minggu, 20 Oktober 2013

METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL DAN AGAMA (PARADIGMA PENELITIAN TEOLOGIS)



BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang Masalah
Pada awal perkembangan riset kualitatif, terjadi pertentangan yang sangat tajam dengan riset kuantitatif, yang sebelumnya secara kuat telah menguasai kegiatan penelitian di segala bidang ilmu. Pada mulanya riset kualitatif dipandang sebagai kegiatan yang tidak bisa dipercaya dan dipandang tidak ilmiah.  Perdebatan panjang dan saling menyerang telah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Dengan menunjukkan kekuatanya masing-masing, pertentangan tersebut telah berkembang dan mendudukkan posisi penelitian kualitatif menjadi   berbeda, yaitu sebagai pendekatan yang diakui oleh sebagian besar pakar penelitian dan para ilmuan sebagai suatu alternatif metodologi penelitian yang bisa digunakan. Pada saat ini kedua paradigma penelitian tersebut telah dinyatakan sama kedudukannya, dan bahkan bisa saling membantu untuk memperkuat hasil penelitian.
Positivisme yang menandai krisis-krisis di Barat, sebenarnya marupakan salah satu dari sekian banyak aliran aliran filsafat di Barat, dan aliran ini berkembang sejak abad ke-19 dengan perintisnya adalah seorang ahli filsafat dari Prancis yang bernama Auguste Comte. Meski dalam beberapa segi mengandung kebaruan namun pandangan ini merupakan bukan suatu hal yang sama sekali baru, karena pada masa sebelumnya Kant sudah berkembang dengan pendangannya mengenai empirisme yang dalam beberapa segi berkesesuaian dengan positivisme.[1]
Dalam menanggapi perkembangan pengetahuan manusia, Auguste Comte sebagai tokoh positivisme telah merumuskan adanya tiga jaman yaitu jaman teologis, metafisis, dan positif. Dalam jaman teologis diyakini adanya kuasa adi kodrati yang mengatur gerak dan fungsi semua gejala alam ini.  Kuasa tersebut berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada makhluk insani. Jaman ini dinyatakan terbagi menjadi tiga periode yaitu animisme, politeisme, dan monoteisme. Pada jaman metafisis, kuasa adi kodrati tersebut telah digantikan dengan konsep-konsep abstrak, seperti halnya “kodrat”, dan “penyebab”. Selanjutnya pada jaman positif, manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan dengan menggunakan kemampuan rasionya. Atas dasar itu perkembangan ilmu pengetahuan juga terbagi menjadi tiga, yang pada awalnya bersifat teologis, kemudian berkembangan menjadi metafisis, dan selanjutnya dianggap mencapai kematangan positif. Jaman positif ini berkaitan dengan berkembangnya faham positifisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak boleh melebihi fakta, karena ilmu pengetahuan bersifat faktual.
Studi Islam Teologik (SIT) pada awalnya hanya mencakup enam pokok bahasan, yaitu, ulum al-Qur’an, ulum al-Hadis, ilmu Hukum Islam, ilmu Kalama tau Teologi, Tasawuf dan Filsafat. Namun pada akhirnya diperluas, enam pokok bahasan tersebut hanya disimpulkan menjadi studi Islam klasik, kemudian ditambahkan studi Islam orientalistik, phenomenologik, dan kontekstual diperbandingkan dengan Studi Islam interdisipliner[2]


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pengertian paradigma teologis?
2.      Bagaimanakah penelitian paradigma teologis?



BAB II
PEMBAHASAN

1.  Paradigma Penelitian Teologis
1.    Pengertian penelitian
Penelitian secara ilmiah, dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul. “…the careful, diligent, and exhaustive investigation of a scientific subyect matter, having as its aim the advancement of mankind’s knowledge”.[3]
Penelitian tidak lain adalah art and science guna mencari jawaban terhadap suatu permasalahan. Karena seni dan ilmiah maka penelitian juga akan memberikan ruang-ruang yang akan mengakomodasi adanya perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan penelitian. Penelitian dapat pula diartikan sebagai cara pengamatan atau inkuiri dan mempunyai tujuan untuk mencari jawaban permasalahan atau proses penemuan, baik itu discovery maupun invention. Discovery diartikan hasil temuan yang memang sebetulnya sudah ada, sebagai contoh, misalnya penemuan benua Amerika adalah penemuan yang cocok untuk arti discovery. Sedangkan invention dapat diartikan sebagai penemuan hasil penelitian yang betul-betul baru dengan dukungan fakta. Misalnya hasil cloning dari hewan yang sudah mati dan dinyatakan punah, kemudian diteliti untuk menemukan jenis yang baru.[4]
Penelitian adalah proses ilmiah yang mencakup sifat formal dan intensif. Karakter formal dan intensif karena mereka terikat dengan aturan, urutan, maupun cara penyajiannya agar memperoleh hasil yang akui dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Intensif dengan menerapkan ketelitian dan ketepatan dalam melakukan proses penelitian agar memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, memcahkan problem melalui hubungan sebab dan akibat, dapat diulang kembali`dengan cara yang sama dan hasil yang sama.[5]
Penelitian menurut Kerlinger yang dikutip oleh Sukardi dalam bukunya “Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya” ialah proses penemuan yang mempunyai karakteristik, terkontrol, empiris, dan mendasarkan pada teori dan hipotesis atau jawaban sementara. Beberapa karakteristik penelitian sengaja ditekankan oleh Kerlinger agar kegiatan penelitian memang berbeda dengan kegiatan professional yang lainnya. Penelitian berbeda dengan kegiatan yang menyangkut tugas-tugas wartawan yang biasanya meliput dan melaporkan berita atas dasar fakta. Pekerjaan mereka belum dikatakan penelitian, karena tidak dilengkapi karakteristik lain yang mendukung agar dapat dikatakan hasil penelitian, yaitu karakteristik mendasarkan pada teori yang ada dan relevan dan dilakukan secara intensif dan dikontrol dalam pelaksanaanya.[6]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian tidak lain adalah usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis mengikuti aturan-aturan metodologi, misalnya observasi secara sistematis, dikontrol dan mendasarkan pada teori yang ada dan diperkuat dengan gejala yang ada.[7] Hasil penelitian ilmiah adalah kebenaran ilmiah atau pengetahuan ilmiah. Penelitian ilmiah yang selanjutnya disebut penelitian atau research memiliki ciri: sistematis, logis dan empiris. Sistematis artinya memiliki metode yang bersistem yakni memiliki tata cara dan tata urutan serta bentuk kegiatan yang jelas dan runtut. Logis artinya menggunakan prinsip yang dapat diterima akal (nalar). Empiris artinya berdasarkan realitas atau kenyataan.[8]

2.    Pengertian Paradigma
Pengertian paradigma dalam Kamus Bahasa Indonesia lengkap adalah “daftar uraian atas kata menjadi unsur-unsur pembentuk kata tersebut”.[9] Sedangkan paradigma penelitian terkait dengan pertanyaan fundamental berupa pertanyaan ontologis, epistemologis dan metodologis. Paradigma adalah kontruksi manusia tentang apa yang benar, paradigma adalah benar berkenaan dengan analisis, suatu konstruksi yang dimiliki manusia.
Adapun hubungan persoalan mendalam secara metafisik (ontologis), epistemologis dan metodologis dengan paradigma penelitian., menurut Guba dan Lincoln (1994), dapat dilukiskan dalam tabel 1.1. tabel berikut melukiskan posisi tiap paradigma dalam hubungannya dengan ontologi, epistemologi dan metodologi. Tabel 1.1. juga menunjukkan kedudukan paradigma dalam hubungannya dengan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kualitatif terkait dalam paradigma teori kritis dan konstruktif, sedangakan penelitian kuantitatif terkait dengan paradigma positivisme dan postpositivisme.[10]
Table 1.1: metafisika (kepercayaan dasar) tentang alternatif paradigma penelitian.[11]
Item
Positivisme
Postpositivisme
Teori kritis
Konstruksivisme
Onto-
logi
Realisme live-realitas “real” yang dapat difahami
Realisme kritis-realisme “real” tetapi hanya dapat dipahami secara tidak sempurna dan probabilitas
Realisme historis-realitas sebenarnya dibentuk oleh faktor sosial, politik, cultural ekonomi, etnik, gender, didapatkan dalam waktu
Realitivisme-lokal dan spesifik yang terbentuk secara khusus
epistemologi
Dualistis/obyectivis penemuan kebenaran
Modifikasi dualistis/obyectivis/tradisi/komonotaskritis; kemung- kinan temuan benar
Transaksional/subyectivist; perantara nilai temuan
Transaksional, subyectivist; menciptakan temuan-temuan
Metodolo
gis
Experinmental/manipulasi; verifikasi hipotesis, terutama metode kuantitatif
Modifikasi eksperimen perbanyakan kritis; falsifikasi hipotesis; mencakup metode kualitatif
Dialogis/dielektik
Hermeneutik/dialektik
3.    Pengertian Teologis
Teologi (bahasa Yunani θεος, theos, "Allah, Tuhan", dan λογια, logia, "kata-kata," "ucapan," atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan, Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Para teolog menggunakan analisis dan argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan, memperbaharui suatu tradisi tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi, menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya.[12]
Dapat disimpulkan bahwa penelitian paradigma teologis merupakan usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis mengikuti aturan-aturan metodologi, secara sistematis, dan mendasarkan pada teori tertentu serta diperkuat dengan gejala yang berkaitan dengan keyakinan beragama.

2.  Metodologi Penelitian Agama
1.      Studi Islam Klasik
Studi Islam klasik mencakup secara garis besarnya enam cabang ilmu, yaitu: ulum al-Qur’an, ulum al-Hadis, ilmu Hukum, ilmu Kalam atau Teologi, Tasawuf, dan Filsafat.[13]  Mempelajari kerangka dasar pengetahuan Islam yang didasarkan pada ilmu-ilmu al-Qur’an. Demikian juga halnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Struktur hukum dalam Islam dikaji tersendiri untuk mengetahui ketentuan-ketentuan Islam. Ilmu Kalam mewakili diskursus mengenai perihal ketuhanan dan keyakinan yang melekat padanya. Pemahaman konsep kedekatan antara hamba dan Tuhannya menjadi pokok bahasan Tasawuf. Rasionalisasi yang berkaitan dengan Islam ditampilkan dalam filsafat.

2.      Studi Islam Orientalis
Term orientalis digunakan untuk para ilmuan yang mempelajari budaya, bahasa, dan adat istiadat bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan pribumi Amerika Serikat dan Australia. Citra yang dikembangkan mengenai bangsa-bangsa tersebut adalah primitif, tidak rasional, tidak beradab dan berbagai konotasi yang rendah. Orientalis yang misionaris Kristen mendeskripsikan Islam yang ada di Hindia Belanda adalah tidak berakar dan palsu, mereka mendasarkan dari studi antropologik dengan pendekatan positivistik.[14]

3.      Historisme Kritis
Dalam historisme kritis tampil dalam wujud menganalisis al-Qur’an dan Muhammad Rasulullah saw, dalam interpretasi asal-usul empirik, tidak mengakui keduanya adalah penetapan Allah Swt.[15]

4.      Studi Islam Phenomenologik
Metodologi penelitian phenomenologik berbeda dengan metodologi penelitian positivistik. Metodologi penelitian positivistik menekankan mengenai pentingnya obyektifitas, ilmu bebas dari nilai apapun (value free). Metodologi phenomenologik pada umumnya menolak pandangan demikian. Ilmu menurut phenomenologik mempunyai hubungan dengan nilai (value bond).[16]
5.      Studi Islam Kontekstual
Setidaknya ada tiga arti kontekstual. Pertama, kontekstual diartikan sebagai upaya pemaknaan masa kini yang mendesak atau situasional. Kedua, pemaknaan kontekstual diartikan dengan melihat keterkaitan masa lampau, kini dan sekarang. Ketiga, pemaknaan kontekstual berarti mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dengan yang perifer.[17]

6.      Studi Islam Multidisipliner dan Interdisipliner
Studi Islam dapat dibedakan yaitu, studi Islam teologik dan studi Islam interdisipliner. Studi Islam teologik merupakan studi Islam yang dikenal di pondok pesentren, di madrasah serta di lembaga Islam tradisional. Sedangkan studi Islam interdisipliner (begitu juga multidisipliner) menghasilkan ahli hukum, ekonomi, ahli pendidikan, ahli teknik, ahli fisika yang memiliki wawasan dasar Islam.[18]










BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
              Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, dapat ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.    penelitian tidak lain adalah usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis mengikuti aturan-aturan metodologi, misalnya observasi secara sistematis, dikontrol dan mendasarkan pada teori yang ada dan diperkuat dengan gejala yang ada
2.    Pengertian paradigma dalam Kamus Bahasa Indonesia lengkap adalah “daftar uraian atas kata menjadi unsur-unsur pembentuk kata tersebut”. Sedangkan paradigma penelitian terkait dengan pertanyaan fundamental berupa pertanyaan ontologis, epistemologis dan metodologis. Paradigma adalah kontruksi manusia tentang apa yang benar, paradigma adalah benar berkenaan dengan analisis, suatu konstruksi yang dimiliki manusia
3.    Penelitian paradigma teologis merupakan usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis mengikuti aturan-aturan metodologi, secara sistematis, dan mendasarkan pada teori tertentu serta diperkuat dengan gejala yang berkaitan dengan keyakinan beragama.
4.    Metodologi Penelitian Agama
1.      Studi Islam Klasik
2.      Studi Islam Orientalis
3.      Historisme Kritis
4.      Studi Islam Phenomenologik
5.      Studi Islam Kontekstual
6.      Studi Islam Multidisipliner dan Interdisipliner
DAFTAR PUSTAKA

Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, tt)
Hardiman, F.Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius, Yogyakarta, 2003
https://id.wikipedia.org/wiki/Teologi diakses pada 18 Juni 2013
Muhadjir, Noen, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, Edisi III Cet. 8 (PT. Bayu Indra Grafika: Yogyakarta) 1998
Santoso, Gempur, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005)
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003)
Tanzeh, Ahmad, Metode Penelitian Praktis, (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 2004)
­­_____________, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Teras, 2009)



              [1]Hardiman, F.Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius, Yogyakarta, 2003, h. 54
[2]Noen Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, Edisi III Cet. 8 (PT. Bayu Indra Grafika: Yogyakarta) 1998, h. 171
[3] Ahmad Tanzeh, Metode Penelitian Praktis, (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 2004), h. 6
[4] Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), h. 3
[5] Ibid., h. 4
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Gempur Santoso, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), h. 4
[9] Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, tt), h. 467
[10] Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 2-3
[11] ibid

[12] https://id.wikipedia.org/wiki/Teologi diakses pada 18 Juni 2013
[13]Noen Muhadjir, op. cit., h. 173
              [14] Ibid., h. 175-176
              [15] Ibid., h. 176
              [16] Ibid., h. 177
              [17] Ibid., h. 178
              [18] Ibid., h. 182